Diantara prinsip hidup penting bagi setiap muslim adalah menjaga diri agar tidak terlalu bergantung atau berhutang budi secara berlebihan kepada orang lain. Bukan berarti menolak kebaikan, tetapi agar kita tetap menjadi pribadi yang merdeka secara hati dan pikiran. Semakin besar rasa hutang budi kepada manusia, semakin berat langkah kita untuk bersikap jujur dan tegas dalam kebenaran.
Islam mengajarkan keseimbangan antara menerima kebaikan dan membalasnya dengan kebaikan pula. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ صُنِعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ، فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ
“Barang siapa yang berbuat baik kepadamu, maka balaslah kebaikannya. Jika engkau tidak menemukan sesuatu untuk membalasnya, maka doakanlah dia hingga engkau merasa telah membalasnya.”
(HR. Abu Dawud no. 1672, dinilai shahih oleh Al-Albani)
Hadis ini menegaskan bahwa setiap kebaikan wajib disyukuri dengan tindakan nyata, baik membalas dengan yang semisalnya atau lebih dari yang diberikan, bukan sekadar ucapan. Membalas kebaikan, walau dengan doa yang tulus, menjaga kehormatan diri agar tidak terbelenggu oleh rasa sungkan yang berlebihan kepada manusia.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan hikmah besar dari amalan ini:
“Dengan membalas kebaikan, seseorang dapat menghilangkan rasa rendah diri yang muncul akibat menerima kebaikan dari orang lain. Karena ketika seseorang berbuat baik padamu, pasti timbul rasa lembut dan segan di hatimu terhadapnya. Namun, jika engkau membalas kebaikannya, maka hilanglah perasaan itu.”
(Al-Qaulul Mufid, 2/354)
Dari penjelasan tersebut, kita belajar bahwa membalas kebaikan bukan hanya soal etika sosial, tetapi juga bagian dari menjaga kehormatan dan kemerdekaan batin. Orang yang terbiasa membalas kebaikan akan memiliki hati yang lapang, tidak merasa hina, dan tetap bisa bersikap tegas dalam menegakkan kebenaran meskipun kepada orang yang pernah menolongnya.
Dalam Al-Qur’an, Allah juga mengarahkan umat Islam untuk berbuat baik secara timbal balik dan tidak bergantung kepada selain-Nya:
قال تَعالى: {هَلْ جَزَآءُ ٱلْإِحْسَٰنِ إِلَّا ٱلْإِحْسَٰنُ}
“Balasan kebaikan adalah kebaikan yang serupa.”
(QS. Ar-Rahman: 60)
قال تَعالى: {وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا}
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.”
Ayat-ayat ini mengandung nilai moral dan sosial yang mendalam: kebaikan hendaknya dibalas dengan kebaikan agar hubungan antarmanusia tetap seimbang dan penuh keberkahan.
Selain itu, Islam juga mengajarkan agar kita tidak suka meminta-minta. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
“Senantiasa seseorang meminta-minta kepada manusia hingga pada hari kiamat ia datang dengan wajah tanpa sepotong daging pun.” (HR. Bukhari no. 1474, Muslim no. 1040)
Hadis ini memperkuat pesan agar setiap muslim berusaha mandiri, menjaga kehormatan diri, dan tidak menjadikan bantuan orang lain sebagai sandaran utama hidup. Menerima pemberian boleh saja, tetapi hendaknya diiringi dengan niat tulus untuk membalasnya dengan kebaikan, doa, atau kontribusi yang bermanfaat.
Menjadi muslim yang merdeka bukan berarti menolak kebaikan orang lain, melainkan menjaga keseimbangan antara menerima dan memberi. Saat kita mampu membalas kebaikan dengan tulus, kita tidak hanya membangun hubungan sosial yang sehat, tetapi juga menjaga hati agar tetap merdeka — bebas dari rasa sungkan, takut, atau ketergantungan yang bisa melemahkan integritas kita.
Sebagaimana pepatah Arab mengatakan:
“Tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah.”
Maka, jadilah seorang muslim yang menghargai kebaikan, membalasnya dengan keikhlasan, dan senantiasa menjaga kemerdekaan hati dari beban hutang budi. Itulah jalan menuju kemuliaan diri dan kebebasan sejati di sisi Allah.
Baarakallah fiikum.
Muhammad Irgi
Jember – 16 Jumadil Awal, 1447
